Minggu, 27 Mei 2012

Model Pembelajaran Inovatif Kontruktivistik

 “…MODEL-MODEL PEMBELAJARAN INOVATIF BERORIENTASI PADA KONSTRUKTIVISTIK…”
Berikut ini beberapa penjelasan tentang model-model pembelajaran, diantaranya:
1.    Model Pembelajaran JIGSAW
A.    Pengertian Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Jigsaw
Jigsaw pertama kali dikembangkan dan diujicobakan oleh Elliot Aronson dan teman-teman di Universitas Texas, dan kemudian diadaptasi oleh Slavin dan teman-teman di Universitas John Hopkins (Arends, 2001).
Teknik mengajar Jigsaw dikembangkan oleh Aronson et. al. sebagai metode Cooperative Learning. Teknik ini dapat digunakan dalam pengajaran membaca, menulis, mendengarkan, ataupun berbicara. Dalam teknik ini, guru memperhatikan skemata atau latar belakang pengalaman siswa dan membantu siswa mengaktifkan skemata ini agar bahan pelajaran menjadi lebih bermakna. Selain itu, siswa bekerja sama dengan sesama siswa dalam suasana gotong royong dan mempunyai banyak kesempatan untuk mengolah informasi dan meningkatkan keterampilan berkomunikasi.
Pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw adalah suatu tipe pembelajaran kooperatif yang terdiri dari beberapa anggota dalam satu kelompok yang bertanggung jawab atas penguasaan bagian materi belajar dan mampu mengajarkan materi tersebut kepada anggota lain dalam kelompoknya (Arends, 1997).
Model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw merupakan model pembelajaran kooperatif dimana siswa belajar dalam kelompok kecil yang terdiri dari 4 – 6 orang secara heterogen dan bekerja sama saling ketergantungan yang positif dan bertanggung jawab atas ketuntasan bagian materi pelajaran yang harus dipelajari dan menyampaikan materi tersebut kepada anggota kelompok yang lain (Arends, 1997).
Jigsaw didesain untuk meningkatkan rasa tanggung jawab siswa terhadap pembelajarannya sendiri dan juga pembelajaran orang lain. Siswa tidak hanya mempelajari materi yang diberikan, tetapi mereka juga harus siap memberikan dan mengajarkan materi tersebut pada anggota kelompoknya yang lain. Dengan demikian, “siswa saling tergantung satu dengan yang lain dan harus bekerja sama secara kooperatif untuk mempelajari materi yang ditugaskan” (Lie, A., 1994).
Para anggota dari tim-tim yang berbeda dengan topik yang sama bertemu untuk diskusi (tim ahli) saling membantu satu sama lain tentang topic pembelajaran yang ditugaskan kepada mereka.
Kemudian siswa-siswa itu kembali pada tim / kelompok asal untuk menjelaskan kepada anggota kelompok yang lain tentang apa yang telah mereka pelajari sebelumnya pada pertemuan tim ahli.
Pada model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw, terdapat kelompok asal dan kelompok ahli. Kelompok asal yaitu kelompok induk siswa yang beranggotakan siswa dengan kemampuan, asal, dan latar belakang keluarga yang beragam. Kelompok asal merupakan gabungan dari beberapa ahli. Kelompok ahli yaitu kelompok siswa yang terdiri dari anggota kelompok asal yang berbeda yang ditugaskan untuk mempelajari dan mendalami topik tertentu dan menyelesaikan tugas-tugas yang berhubungan dengan topiknya untuk kemudian dijelaskan kepada anggota kelompok asal.
B.    Pengertian Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Jigsaw Menurut Para Ahli
a.    Menurut Arends, RI, 1997 (dalam Wirta:2003) pengertian pembelajaran jigsaw adalah salah satu model pembelajaran kooperatif yang terdiri dari tim-tim belajar heterogen beranggotakan 4 sampai 6 orang siswa. Materi akademik disaji-kan dalam bentuk teks dan setiap siswa bertanggung jawab atas penugasan bagian materi belajar dan mampu mengajarkan bagian materi tersebut kepada anggota tim lain.
Dalam model pembelajaran kooperatif tipe jigsaw siswa diberi kesem-patan untuk berkolaborasi dengan teman lain dalam bentuk diskusi kelompok memecahkan suatu permasalahan. Setiap kelompok memiliki kemampuan akademik yang heterogen sehingga akan terdapat siswa yang berkemampuan tinggi, dua atau tiga siswa berkemampuan sedang, dan seorang siswa berkemampuan kurang.
b.    Menurut (Lie, A., 1994) Jigsaw didesain untuk meningkatkan rasa tanggung jawab siswa terhadap pembelajarannya sendiri dan juga pembelajaran orang lain. Siswa tidak hanya mempelajari materi yang diberikan, tetapi mereka juga harus siap memberikan dan mengajarkan materi tersebut pada anggota kelompoknya yang lain. Dengan demikian, “siswa saling tergantung satu dengan yang lain dan harus bekerja sama secara kooperatif untuk mempelajari materi yang ditugaskan”.
C.    Landasan Teori Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Jigsaw
Teori yang Melandasi Pembelajaran Kooperatif :
Dua aspek yang penting yang mendasari keberhasilan cooperative learning yaitu teori motivasi dan teori kognitif ( Slavin:1995:16 ).
a.    Teori motivasi
Menurut teori motivasi, motivasi siswa dalam pembelajaran kooperatif terutama terletak dalam bagaimana bentuk hadiah atau struktur pencapaian tujuan saat siswa melaksanakan kegiatan. Diidentifikasi ada tiga macam struktur pencapaian tujuan yaitu sebagai berikut:
    Kooperatif dimana orientasi tujuan masing-masing siswa turut membantu pencapaian tujuan siswa lain.
    Kompetitif dimana upaya siswa untuk mencapai tujuan akan menghalangi siswa lain dalam pencapaian tujuan.
    Individualistik dimana upaya siswa untuk mencapai tujuan tidak ada hubungannya dengan siswa lain dalam mencapai tujuan tersebut.
Metode mengajar adalah suatu jalan/cara yang harus dilalui di dalam mengajar (Slameto: 65). Berdasar pandangan teori motivasi, struktur tujuan kooperatif menciptakan situasi dimana satu-satunya cara agar tujuan tiap anggota kelompok tercapai adalah jika kelompok tersebut berhasil. Oleh karena itu untuk mencapai tujuan pribadi mereka, anggota kelompok harus membantu teman kelompoknya yang dapat membuat pencapaian tujuan belajar seperti membuat variasi dalam metode mengajar.
Hal apa saja yang dapat membuat kelompok berhasil , dan yang lebih penting mendorong teman kelompoknya untuk berusaha secara maksimal. Dengan kata lain , penghargaan kepada kelompok berdasarkan pada kemampuan kelompok dalam menciptakan struktur penghargaan antar perorangan sedemikian rupa sehingga anggota kelompok akan saling memberi penguatan sosial sebagai respon terhadap upaya-upaya pengerjaan tugas teman sekelompoknya.
b.    Teori Kognitif
Teori ini mengukur efek-efek dari bekerjasama dalam diri individu. Teori ini dikelompokkan dalam dua kategori:
    Teori Perkembangan: Asumsi dasar dari teoti perkembangan adalah interaksi siswa diantara tugas-tugas yang sesuai meningkatkan penguasaan mereka terhadap konsep-konsep yang sulit. Vygotsky mendefinisikan zone of proximal development sebagai jarak antara tingkat perkembangan sesungguhnya yang didefinisikan sebagai kemampuan pemecahan masalah dibawah bimbingan orang dewasa atau melaui kerjasama dengan teman sebaya yang lebih mampu.
    Teori Elaborasi Kognitif: Teori ini memiliki pandangan yang berbeda .Penelitian dalam psikologi kognitif telah menemukan bahwa supaya informasi dapat disimpan didalam memori dan terkait dengan informasi yang sudah ada dalam memori itu, maka siswa harus terlibat dalam kegiatan restruktur atau elaborasi kognitif atas suatu materi .Sebagai misal membuat ikhtisar dari suatu kuliah merupakan kegiatan yang lebih baik dari pada sekedar membuat catatan, karena membuat ikhtisar menghendaki siswa mereorganisasi dan memilih materi yang penting. Salah satu elaborasi kognitif yang paling efektif ialah menjelaskan materi itu pada orang lain.
D.    Karakteristik Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Jigsaw
a.    Siswa bekerja dalam kelompok kooperatif untuk menguasai materi akademis.
b.    Anggota-anggota dalam kelompok diatur terdiri dari siswa yang berkemampuan rendah, sedang, dan tinggi.
c.    Jika memungkinkan, masing-masing anggota kelompok kooperatif berbeda suku, budaya, dan jenis kelamin.
d.    Sistem penghargaan yang berorientasi kepada kelompok daripada individu.
E.    Sintaks Pembelajaran Kooperatif Tipe Jigsaw
1.    Fase 1, Menyampaikan tujuan dan memotivasi siswa,
2.    Fase 2, Menyajikan Informasi.
3.    Fase 3, Membuat kelompok Dasar/Asal atau Base Group.
4.    Fase 4, Kelompok Ahli atau Expert Group, siswa yang mendapat topik sama berdiskusi dalam kelompok ahli.
5.    Fase 5, Tim ahli kembali ke kelompok dasar, siswa kembali ke kelompok dasar untuk menjelaskan apa yang mereka dapatkan dalam kelompok ahli.
6.    Fase 6, Evaluasi. Semua siswa diberikan tes meliputi semua topik.
7.    Fase 7, Memberikan Penghargaan. Guru memberikan penghargaan baik secara individual maupun kelompok.
F.    Langkah – Langkah Pembelajaran Kooperatif Tipe Jigsaw
Langkah-langkah pembelajaran dalam model ini dapat dilaksanakan dalam dua tahap yaitu:
1.    Awal kegiatan pembelajaran
a.    Persiapan
    Melakukan Pembelajaran Pendahuluan
Guru dapat menjabarkan isi topik secara umum, memotivasi siswa dan menjelaskan tujuan dipelajarinya topik tersebut.
    Materi
Materi pembelajaran kooperatif model jigsaw dibagi menjadi beberapa bagian pembelajaran tergantung pada banyak anggota dalam setiap kelompok serta banyaknya konsep materi pembelajaran yang ingin dicapai dan yang akan dipelajari oleh siswa.
    Membagi Siswa Ke Dalam Kelompok Asal Dan Ahli
Kelompok dalam pembelajarn kooperatif model jigsaw beranggotakan 3-5 orang yang heterogen baik dari kemampuan akademis, jenis kelamin, maupun latar belakang sosialnya.
    Menentukan Skor Awal
Skor awal merupakan skor rata-rata siswa secara individu pada kuis sebelumnya atau nilai akhir siswa secara individual pada semester sebelumnya.
2.    Rencana Kegiatan
a.    Setiap kelompok membaca dan mendiskusikan sub topik masing-masing dan menetapkan anggota ahli yang akan bergabung dalam kelompok ahli.
b.    Anggota ahli dari masing-masing kelompok berkumpul dan mengintegrasikan semua sub topik yang telah dibagikan sesuai dengan banyaknya kelompok.
c.    Siswa ahli kembali ke kelompok masing-masing untuk menjelaskan topik yang didiskusikannya.
d.    Siswa mengerjakan tes individual atau kelompok yang mencakup semua topik.
e.    Pemberian penghargaan kelompok berupa skor individu dan skor kelompok atau menghargai prestasi kelompok.

2.    Model pembelajaran TPS
A.    Pengertian TPS (Think Pair Share)
Think Pair Share merupakan salah satu pendekatan struktural dalam pembelajaran kooperatif yang pertama kali diusulkan oleh Frank Lyman (1981). Pada think pair share, siswa dikelompokkan secara berpasangan yang bertujuan untuk mengefektifkan proses belajar kelompok. Ini adalah resiko relatif rendah dan struktur pembelajaran kolaboratif pendek, dan sangat ideal bagi instruktur dan siswa yang baru belajar kolaboratif. Strategi yang dirancang untuk memberikan para siswa dengan “makanan untuk pemikiran” pada topik tertentu yang memungkinkan mereka untuk merumuskan ide-ide individual dan berbagi ide-ide ini dengan siswa lain. Dalam think pair share, instruktur pose yang menantang atau pertanyaan terbuka dan memberi siswa setengah sampai satu menit untuk memikirkan pertanyaan itu.
Kelompok pembelajaran kooperatif tidak akan efektif jika terjadi miskomunikasi dalam kelompok tersebut. Empat keterampilan komunikasi : mengulang dengan kalimat sendiri, memberikan perilaku, memberikan perasaan, dan mengecek kesan (Ibrahim, 2001:52) adalah penting untuk mengembangkan kecakapan berkomunikasi.
Terdapat beberapa langkah-langkah dalam TPS:
Tahap-1 : Thinking (berpikir)
Guru mengajukan pertanyaan atau isu yang berhubungan dengan pelajaran, kemudian siswa diminta untuk memikirkan pertanyaan tersebut secara mandiri untuk beberapa saat.
Tahap-2 : Pairing
Guru meminta siswa berpasangan dengan siswa lain untuk mendiskusikan apa yang telah dipikirkannya pada tahap pertama. Interaksi pada tahap ini diharapkan dapat berbagi jawaban jika telah diajukan suatu pertanyaan atau berbagi ide jika suatu persoalan khusus telah diiidentifikasi. Biasanya guru memberi 4-5 menit untuk berpasangan.
Tahap-3 : Sharing
Pada tahap akhir ini guru meminta kepada pasangan untuk berbagi dengan seluruh kelas tentang apa yang telah mereka bicarakan. Ini efektif dilakukan dengan cara bergiliran pasangan demi pasangan dan dilanjutkan sampai sekitar seperampat pasangan telah mendapat kesempatan untuk melaporkan.
Keunggulan dari model pembelajaran ini adalah optimalisasi partisipasi siswa untuk mengeluarkan pendapatnya dan dapat meningkatkan pembentukan pengetahuan oleh siswa.
Pembelajaran kooperatif tipe think pair share mempunyai beberapa teori yang mendasarinya, diantaranya adalah:
a.    Teori Piaget
Teori belajar piaget terkenal dengan teori perkembangan mental manusia. Yang dimaksud dengan ‘mental’ dalam teorinya adalah intelektual atau kognitifnya. Menurut Piaget, “Belajar pada dasarnya adalah pengubahan struktur kognitif dengan melalui asimilasi dan akomodasi”. Asimilasi terjadi apabila adanya informasi baru ke dalam pikiran. Sedangkan akomodasi berlangsung apabila ada ketidakseimbangan antara informasi baru dengan struktur yang dimiliki siswa, sehingga siswa perlu melakukan modifikasi agar terjadi keseimbangan baru dalam pikiran siswa (Faresnawati, Nita, 2003:22). Berdasarkan pendapat di atas, dalam memperoleh pengetahuan hendaknya siswa diberi kesempatan untuk berinteraksi dengan lingkungannya. Perkembangan kognitif seorang individu dipengaruhi pula oleh faktor lingkungan dan transisi sosialnya (TIM MKPBM, 2001:39). Dengan adanya proses asimilasi dan akomodasi diharapkan wawasan pengetahuan siswa dapat berkembang secara optimal.
b.    Teori Ausubel
Ausubel terkenal dengan teori belajar bermakna. Ia membedakan antara belajar yang menemukan dan belajar menerima. Pada belajar menerima siswa hanya menerima dan tinggal menghafal saja, tetapi pada belajar menemukan, konsep ditemukan oleh siswa dan dalam belajar siswa tidak menerima pelajaran begitu saja. Pada balajar menghafal, siswa menghafal materi yang sudah diperolehnya, tetapi pada belajar bermakna materi yang telah diperoleh itu dikembangkan dengan keadaan lain sehingga belajarnya lebih mengerti dan bermakna. Teori ini mendukung pembelajaran kooperatif teknik think pair share karena dengan kerja kelompok dapat memberikan kesempatan pada siswa untuk menggunakan keterampilannya dalam membahas suatu masalah.
B.    Sintaks-Sintaks TPS
Sintaks model pembelajaran kooperatif tipe TPS:
1.    Fase 1, Menyampaikan tujuan dan memotivasi siswa
2.    Fase 2, Menyajikan informasi
3.    Fase 3, Mengorganisasi siswa kedalam kelomok belajar (berpasangan).
4.    Fase 4, Membimbing kelompok bekerja dan belajar. Guru membimbing kelompok-kelompok belajar pada saat siswa mengerjakan tugas mereka. Semua siswa mengerjakan tugas secara berpasangan bengan bimbingan guru.
5.    Fase 5, Sharing. Guru menanggapi hasil kerja siswa setelah melakukan percobaan. Dan siswa mempresentasikan hasil kerja setelah melakukan percobaan.
6.    Fase 6, Evaluasi, Guru mengevaluasi hasil belajar tentang materi yang telah dipelajari atau masing-masing kelompok mempersentasikan hasil kerjanya. Siswa menjelaskan atau mempersentasikan hasil tugas yang sudah dikerjakan.
C.    Kelebihan dan Kekurangan TPS
    Kelebihan TPS
1.    Memberi siswa waktu lebih banyak untuk berfikir, menjawab, dan saling membantu satu sama lain.
2.    Seorang siswa juga dapat belajar dari siswa lain serta saling menyampaikan idenya untuk didiskusikan sebelum disampaikan di depan kelas.
3.    Dapat memperbaiki rasa percaya diri dan semua siswa diberi kesempatan untuk berpartisipasi dalam kelas.
4.    Siswa dapat mengembangkan keterampilan berfikir dan menjawab dalam komunikasi antara satu dengan yang lain, serta bekerja saling membantu dalam kelompok kecil.
5.    Memungkinkan guru untuk lebih banyak memantau siswa dalam proses pembelajaran.



    Kekurangan TPS
1.    Peralihan dari seluruh kelas ke kelompok kecil dapat menyita waktu pengajaran yang berharga. Untuk itu guru harus dapat membuat perencanaan yang seksama sehingga dapat meminimalkan jumlah waktu yang terbuang.
2.    Sangat memerlukan kemampuan dan ketrampilan guru, waktu pembelajaran berlangsung guru melakukan intervensi secara maksimal.
3.    Menggantungkan pada pasangan.
4.    Ketidaksesuaian antara waktu yang direncanakan dengan pelaksanaannya.
5.    Menyusun bahan ajar setiap pertemuan dengan tingkat kesulitan yang sesuai dengan taraf berfikir anak.

3.    Model Pembelajaran STAD
A.    Pengertian STAD
Pembelajaran kooperatif tipe STAD ini merupakan salah satu tipe dari model pembelajaran kooperatif yang menekankan pada adanya aktivitas dan interaksi di antara siswa untuk saling memotivasi dan saling membatu dalam menguasai materi pelajaran guna mencapai prestasi yang maksimal. Dalam pembelajaran tipe ini menggunakan kelompok-kelompok kecil (dengan jumlah anggota tiap kelompok 4-5 orang secara heterogen). Diawali dengan penyampaian tujuan pembelajaran, penyampaian materi, kegiatan kelompok, kuis dan penghargaan kelompok.
B.    Karakteristik STAD
Menurut Johnson & Johnson, prinsip dasar dalam model pembelajaran kooperatif adalah sebagai berikut:
1.    Setiap anggota kelompok (siswa) bertanggung jawab atas segala sesuatu yang di kerjakan dalam kelompoknya.
2.    Setiap anggota kelompok (siswa) harus mengetahui bahwa semua anggota kelompok mempunyai tujuan yang sama.
3.    Setiap anggota kelompok (siswa) harus membagi tugas dan tanggung jawab yang sama di antara anggota kelompoknya.
4.    Setiap anggota kelompok (siswa) akan dikenai evaluasi.
5.    Setiap anggota kelompok (siswa) berbagi kepemimpinan dan membutuhkan keterampilan untuk belajar bersama selama proses belajarnya.
6.    Setiap anggota kelompok (siswa) akan diminta mempertanggung jawabkan secara individual materi yang ditangani dalam kelompok kooperatif
Maka adapun karakteristik pembelajaran kooperatif dengan menggunakan pendekatan STAD (Student Teams Achievement Division) merujuk prinsip umum pembelajaran kooperatif di atas, yakni:
1.    Siswa dalam kelompok menyelesaikan materi belajar sesuai kompetensi dasar yang akan dicapai.
2.    Kelompok dibentuk dari beberapa siswa (4-5 siswa) secara heterogen.
3.    Ada pemberian penghargaan dalam akhir kegiatan pembelajaran. Penghargaan lebih menekankan pada kelompok daripada masing-masing individu. Dari hasil nilai perkembangan, maka penghargaan pada prestasi kelompok diberikan dalam tingkatan penghargaan seperti kelompok baik, hebat dan super.
4.    Ada tahap tes individual dan tahap perhitungan skor perkembangan individu yang nantinya digunakan dalam perhitungan skor kelompok.
Diharapkan dalam pembelajaran dengan pendekatan STAD ini dapat mengembangkan diskusi dan komunikasi dengan tujuan agar siswa saling berbagi kemampuan, saling belajar berpikir kritis, saling menyampaikan pendapat, saling memberi kesempatan menyalurkan kemampuan, saling membantu belajar, saling menilai kemampuan dan peranan diri sendiri maupun teman lain. Penghargaan dibuat untuk memotivasi semangat belajar siswa.
C.    Sintaks – Sintaks STAD
Fase – Fase Pembelajaran Kooperatif Tipe STAD:
1.    Fase 1, Penyajian kelas. Guru menyajikan materi pelajaran sesuai dengan yang direncanakan. Setiap awal dalam pembelajaran kooperatif tipe STAD selalu dimulai dengan penyajian kelas.
2.    Fase 2, Belajar kelompok. Tugas anggota kelompok adalah menguasai materi yang diberikan guru dan membantu teman satu kelompok untuk menguasai materi tersebut. Siswa diberi lembar kegiatan yang dapat digunakan untuk melatih ketrampilan yang sedang diajarkan untuk mengevaluasi diri mereka dan teman dalam satu kelompok.
3.    Fase 3, Pemberian kuis. Kuis dikerjakan siswa secara mandiri. Hal ini bertujuan untuk menunjukkan apa saja yang telah diperoleh siswa selama belajar dalam kelompok.
4.    Fase 4, Pemberian penghargaan. Pemberian penghargaan kelompok berdasarkan pada rata-rata nilai perkembangan individu dalam kelompoknya.
Sedangkan menurut Slavin (1995) belajr kooperatif tipe STAD melalui lima tahapan yang meliputi:
1.    Tahap penyajian materi, yang mana guru memulai dengan menyampaikan indicator yang harus dicapai hari itu dan memotivasi siswa tentang materi yang akan dipelajari. Dilanjutkan dengan pemberian persepsi dengan tujuan untuk mengingatkan siswa dengan materi prasarat yang telah dipelajari, agar siswa dapat menghubungkan materi yang akan dipelajari dengan pengetahuan yang dimiliki.
2.    Tahap kerja kelompok, pada tahap ini siswa diberi lembar kerja sebagai bahan yang akan dipelajari. Dalam kerja kelompok siswa saling berbagi tugas, saling membantu memberikan penyelesaian agar semua anggota kelompok dapat memahami materi yang dibahas dan satu lembar kerja dikumpulkan sebagai hasil kerja kelompok.
3.    Tahap tes individu, untuk mengetahui sejauh mana keberhasilan belajar telah dicapai, diadakan tes secara individual mengenai materi yang telah dibahas. Skor individu didata dan diarsipkan yang nantinya akan digunakan pada perhitungan skor kelompok.
4.    Tahap perhitungan skor perkembangan individu, dihitung berdasarkan skor awal. Hal ini dimaksudkan agar siswa terpacu untuk memperoleh prestasi terbaik sesuai dengan kemampuannya.
5.    Pemberian penghargaan, diberikan berdasarkan perolehan skor rata – rata yang dikategorikan menjadi kelomok baik, kelompok hebat dan kelompok super.
Dari tinjauan tentang pembelajaran kooperatif tipe STAD ini menunjukkan bahwa pembelajaran kooperatif tipe STAD ini merupakan tipe pembelajaran yang sederhana. Dikatakan sederhana karena kegiatan pembelajaran yang dilakukan masih dekat kaitannya dengan pmebelajaran konvensional. Hal ini dapat dilihat pada fase 2 dari fase – fase pembelajaran kooperatif tipe STAD, yaitu adanya penyajian informasi atau materi pelajaran. Perbedaan model ini dengan model konvensional terletak pada adanya pemberian penghargaan pada kelompok.
Berikut ada beberapa factor pendukung keberhasilan penerapan pembelajaran tipe STAD ini, ialah:
    Adanya minat belajar yang tinggi dari siswa
    Adanya professional dan semangat yang tinggi dari guru sebagai fasilitator dan motivator.
Sebaliknya ada hal yang dapat menghambat pembelajaran ini, ialah sebagian siswa enggan untuk menyampaikan pendapatnya. Kepribadian siswa yang tertutup dan kurang berinteraksi dengan temannya.

4.    Model Pembelajaran INKUIRI
A.    Pengertian Model INKUIRI
Inkuiri berasal dari bahasa Inggris Inquiry berarti pertanyaan, atau pemeriksaan, penyelidikan. Inkuiri sebagai suatu proses umum yang dilakukan manusia untuk mencari atau memahami informasi. (Sund, seperti yang dikutip oleh Suryosubroto dalam Trianto (2009)).
Dengan kata lain, inkuiri adalah suatu proses untuk memperoleh dan mendapatkan informasi dengan melakukan observasi dan atau eksperimen untuk mencari jawaban atau memecahkan masalah terhadap pertanyaan atau rumusan masalah dengan menggunakan kemampuan berpikir kritis dan logis (Schmidt, 2003).
Inkuiri merupakan prosedur yang biasa dilakukan oleh ilmuwan dan orang dewasa yang memiliki motivasi tinggi dalam upaya memahami fenomena alam, memperjelas pemahaman, dan menerapkannnya dalam kehidupan sehari-hari (Hebrank, 2000; Budnitz, 2003; Chiapetta & Adams, 2004).
Sebagai strategi pembelajaran, inkuiri dapat diimplementasikan secara terpadu dengan strategi lain sehingga dapat membantu pengembangan pengetahuan dan pemahaman serta kemampuan melakukan kegiatan inkuiri oleh siswa. Sedangkan sebagai bagian dari materi pelajaran sains, inkuiri merupakan kemampuan yang harus dimiliki oleh siswa agar dapat melakukan penyelidikan ilmiah.
Meskipun sudah cukup banyak bukti-bukti yang menunjukkan keunggulan inkuiri sebagai model dan strategi pembelajaran, dewasa ini masih banyak guru yang merasa keberatan atau tidak mau menerapkannya di dalam kelas. Kebanyakan guru dan dosen masih tetap bertahan pada strategi pembelajaran tradisional, karena menganggap inkuiri sebagai suatu strategi pembelajaran yang sulit diterapkan (Straits & Wilke, 2002).
Jadi, dari semua pendapat para ahli dapat diambil kesimpulan dari pengertian model inkuiri adalah:
Model pembelajaran inkuiri merupakan suatu model pembelajaran yang dikembangkan berdasarkan cara berfikir yang bersifat penemuan yaitu menarik kesimpulan berdasarkan data-data yang teramati. Atas dasar ini model pembelajaran inkuiri menekankan pada pengalaman lapangan seperti mengamati gejala atau mencoba suatu proses kemudian mengambil kesimpulan.
B.    Sasaran Pembelajaran INKUIRI
Sasaran utama kegiatan pembelajaran inkuiri adalah :
1.    Keterlibatan siswa secara maksimal dalam proses kegiatan belajar
2.    Keterarahan kegiatan secara maksimal dalam proses kegiatan belajar
3.    Mengembangkan sikap percaya pada diri siswa tentang apa yang ditemukan dalam proses inkuiri .
Sasaran pembelajaran yang dapat dicapai dengan penerapan inkuiri adalah:
a.    Sasaran kognitif
1.    Memahami bidang khusus dari materi pelajaran
2.    Mengembangkan keterampilan proses sains
3.    Mengembangkan kemampuan bertanya, memecahkan masalah dan melakukan percobaan
4.    Menerapkan pengetahuan dalam situasi baru yang berbeda.
5.    Mengevaluasi dan mensintesis informasi, ide dan masalah baru
6.    Memperkuat keterampilan berpikir kritis
b.    Sasaran afektif
1.    Mengembangkan minat terhadap pelajaran dan bidang ilmu
2.    Memperoleh apresiasi untuk pertimbangan moral dan etika yang relevan dengan bidang ilmu tertentu.
3.    Meningkatkan intelektual dan integritas
4.    Mendapatkan kemampuan untuk belajar dan menerapkan materi pengetahuan.

C.    Karakteristik Model INKUIRI
Menurut Sanjaya (2009) bahwa skarakteristik pembelajaran inquiry, memiliki beberapa ciri utama, yaitu:
    Inkuiri menekankan pada aktivitas siswa secara maksimal untuk mencari dan menemukan, artinya strategi inquiry menempatkan siswa sebagai subjek belajar. Dalam proses pembelajaran siswa tidak hanya berperan sebagai penerima pelajaran melalui penjelasan guru secara verbal, akan tetapi mereka berperan untuk menemukan sendiri inti dari materi pelajaran itu sendiri.
    Seluruh aktivitas yang dilakukan siswa diarahkan untuk mencari dan menemukan jawaban sendiri yang sifatnya sudah pasti dari sesuatu yang sudah dipertanyakan, sehingga diharapkan dapat menumbuhkan sifat percaya diri.
Tujuan umum dari latihan model pembelajaran inkuiri adalah menolong siswa mengembangkan disiplin intelektual dan ketrampilan yang dibutuhkan dengan memberikan pertanyaan dan mendapatkan jawaban atas dasar rasa ingin tahu mereka.
Tujuan dari penggunaan strategi pembelajaran inkuiri adalah mengembangkan kemampuan berpikir secara sistematis, logis dan kritis. Model pembelajaran inkuiri cocok digunakan di kelas tinggi (IV, V dan VI). Karena sistem metode inkuiri yaitu menemukan solusi dari suatu masalah secara berkelompok. Jadi siswa dituntut untuk berfikir kritis, karena dalam proses pembelajaran siswa dituntut untuk merumuskan masalah, mengembangkan hipotesis, menguji jawaban tentatif dan menarik kesimpulan dari suatu masalah.
D.    Pelaksanaan Pembelajaran INKUIRI
Kemampuan yang diperlukan dalam melaksanakan pembelajaran inkuiri adalah sebagai berikut :
1.    Mengajukan Pertanyaan atau Permasalahan
Kegiatan inkuiri dimulai ketika pertanyaan atau permasalahan diajukan. Untuk meyakinkan bahwa pertanyaan sudah jelas, pertanyaan tesebut dituliskan dipapan tulis, kemudian siswa diminta untuk merumuskan hipotesis ( jawaban sementara yang diketahui siswa ).


2.    Merumuskan Hipotesis
Hipotesis adalah jawaban sementara atas pertanyaan atau solusi permasalahan yang dapat diuji dengan data. Untuk memudahkan proses ini, guru menanyakan kepada siswa gagasan mengenai hipotesis yang mungkin. Dari semua gagasan yang ada, dipilih salah satu hipotesis yang relevan ( mendekati kebenaran ) dengan permasalahan yang diberikan.
3.    Mengumpulkan Data
Hipotesis digunakan untuk menuntun proses pengumpulan data. Data yang dihasilkan dapat berupa tabel, matrik atau grafik.
4.    Analisis Data
Siswa bertanggung jawab menguji hipotesis yang telah dirumuskan dengan menganalisis data yang telah diperoleh. Faktor prnting dalam menguji hipotesis adalah pemikiran “benar” atau “salah”. Setelah memperoleh kesimpulan dari data percobaan, siswa dapat menguji hipotesis yang telah dirumuskan. Bila ternyata hipotesis itu salah atau ditolak, siswa dapat menjelaskan sesuai dengan proses inkuiri yang telah dilakukannya.
5.    Membuat Kesimpulan
Langkah penutup dari hasil pembelajaran inkuiri adalah membuat kesimpulan sementara berdasarkan data yang diperoleh siswa.
E.    Sintaks- Sintaks Model Pembelajaran INKUIRI
Sintaks Model Pembelajaran Inkuiri (Penemuan):
1.    Fase 1, Observasi untuk menemukan masalah. Guru menyajikan kejadian-kejadian atau fenomena yang memungkinkan siswa menemukan masalah.
2.    Fase 2, Merumuskan masalah. Guru membimbing siswa merumuskan masalah penelitian berdasarkan kejadian dan fenomena yang disajikannya.
3.    Fase 3, Mengajukan hipotesis. Guru membimbing siswa untuk mengajukan hipotesis terhadap masalah yang telah dirumuskannya
4.    Fase 4, Merencanakan pemecahan masalah (melalui eksperimen atau cara lain). Guru membimbing siswa untuk merencanakan pemecahan masalh, membantu menyiapkan alat dan bahan yang diperlukan dan menyusun prosedur kerja yang tepat
5.    Fase 5, Melaksanakan eksperimen (atau cara pemecahan masalh yang lain). Selama siswa bekerja, guru membimbing dan memfasilitasi.
6.    Fase 6, Melakukan pengamatan dan pengumpulan data. Guru membantu siswa melakukan pengamatan tentang hal-hal yang penting dan membantu mengumpilkan dan mengorganisasi data.
7.    Fase 7, Analisis data. Guru membantu siswa menganalisis data supaya menemukan suatu konsep.
8.    Fase 8, Penarikan kesimpulan dan penemuan. Guru membimbing siswa mengambil kesimpulan berdasarkan data dan menemukan sendiri konsep yang ingin ditanamkan.
F.    Kelebihan dan Kekurangan Model Pembelajaran INKUIRI
Namun dalam penerapannya model pembelajaran inkuiri ini memiliki kelebihan dan juga kekurangan, diantaranya adalah :
    Kelebihan yang dimiliki inkuiri :
1.    Meningkatkan pemahaman terutama dalam bidang sains.
2.    Pemikiran siswa akan cepat berproduksi dalam menghasilkan ide-ide kreatif.
3.    Siswa menjadi terampil dalam memperoleh dan menganalisis informasi yang mereka terima baik dari guru, orang tua maupun media dan lingkungan.
4.    Menekankan aspek koqnitif, afektif dan psikomotorik dalam proses pembelajaran.
5.    Untuk memberikan ruang belajar yang sesuai dengan gaya belajar siswa.
    Kekurangan yang dimiliki inkuiri :
1.    Guru dituntut untuk kreatif .
2.    Belajar dengan menerapkan model inkuiri dibutuhkan kecerdasan anak/siswa yang tinggi
3.    Inkuiri tidak cocok diterapkan pada anak yang berusia telalu mudah (misalnya SD kelas rendah).
4.    Untuk mengimplementasikan materi menggunakan model pembelajaran inkuiri memerlukan waktu yang sangat lama.
5.    Sulit mengontrol kegiatan dan keberhasilan siswa.
6.    Sulit merencanakan pembelajaran karena benturan dengan kebiasaan.
7.    Keberhasilan belajar ditentukan dalam menguasai materi sehingga tidak semua guru mampu untuk mengimplementasikannya.
5.    Model Pembelajaran TGT
A.    Pengertian TGT ( Team Games Tournament )
Teams Games-Tournaments (TGT) pada mulanya dikembangkan oleh David DeVries dan Keith Edwards. Dalam TGT, para siswa dikelompokkan dalam tim belajar yang terdiri atas empat orang yang heterogen. Guru menyampaikan pelajaran, lalu siswa bekerja dalam tim mereka untuk memastikan bahwa semua anggota tim telah menguasai pelajaran (Slavi, 2008). Secara umum, pembelajaran kooperatif tipe TGT memiliki prosedur belajar yang terdiri atas siklus regular dari aktivitas pembelajaran kooperatif. Games Tournament dimasukkan sebagai tahapan review setelah setelah siswa bekerja dalam tim (sama dengan TPS).
Dalam TGT siswa memainkan game akademik dengan anggota tim lain untuk menyumbangkan poin bagi skor timnya. Siswa memainkan game ini bersama tiga orang pada “meja-turnamen”, di mana ketiga peserta dalam satu meja turnamen ini adalah para siswa yang memiliki rekor nilai IPA terakhir yang sama. Sebuah prosedur “menggeser kedudukan” membuat permainan ini cukup adil. Peraih rekor tertinggi dalam tiap meja turnamen akan mendapatkan 60 poin untuk timnya, tanpa menghiraukan dari meja mana ia mendapatkannya. Ini berarti bahwa mereka yang berprestasi rendah (bermain dengan yang berprestasi rendah juga) dan yang berprestasi tinggi (bermain dengan yang berprestasi tinggi) kedua-duanya memiliki kesempatan yang sama untuk sukses. Tim dengan tingkat kinerja tertinggi mendapatkan sertifikat atau bentuk penghargaan tim lainnya.
Permainan TGT berupa pertanyaan-pertanyaan yang ditulis pada kartu-kartu yang diberi angka. Tiap-tiap siswa akan mengambil sebuah kartu dan berusaha untuk menjawab pertanyaan yang sesuai dengan angka yang tertera. Turnamen ini memungkinkan bagi siswa untuk menyumbangkan skor-skor maksimal buat kelompoknya. Turnamen ini juga dapat digunakan sebagai review materi pelajaran.
B.    Landasan Teori Model Pembelajaran TGT.
Ada beberapa teori yang mendasari model pembelajaran TGT antara lain:
Teori Konstruktivis
Teori ini menyatakan bahwa siswa harus menemukan sendiri dan mentrasformasikan informasi kompleks, mengecek informasi baru dengan aturan-aturanlama dan merevisinya apabila aturan-aturan itu tidak berlaku lagi. Teori ini berkembang dari kerja Piaget, Vygotsky, teori-teori pemrosesan informasi, dan teori psikologi kognitif yang lain, seperti Bruner ( Slavin dalam Nur, 2002:8 ).
Menurut teori kontruktivis ini, satu prinsip yang paling penting dalam psikologi pendidikan adalah bahwa guru tidak hanya sekedar memberikan pengetehuan kepada siswa. Siswa harus membangun sendiri pengetahuan dalam benaknya. Guru dapat memberikan kemudahan untuk proses ini, dengan memberi kesempatan siswa untuk menemukan atau memerapakan ide-idenya sendiri. Guru dapat memberi anak tangga yanng membawa siswa ke pemahaman yang lebih tinggi, dengan catatan siswa sendiri yang memenjat anak tangga tersebut ( Nur, 2002:8 ).
C.    Karakteristik Model Pembelajaran TGT
Komponen-komponen dalam TGT adalah penyajian materi, tim, game, turnamen dan penghargaan kelompok.
1.    Penyajian materi
Dalam TGT, materi mula-mula dalam penyajian materi. Siswa harus memperhatikan selama penyajian kelas karena dengan demikian akan membantu mereka mengerjakan kuis dengan baik dan skor kuis mereka menentukan skor kelompok.
2.    Tim
Tim dalam TGT terdiri atas 4-5 siswa dengan prestasi akademik, jenis kelamin, ras, dan etnis yang bervariasi. Fungsi utama kelompok adalah untuk meyakinkan bahwa semua anggota kelompok belajar dapat berhasil dalam kuis. Setelah guru menyampaikan materi, kelompok bertemu untuk mempelajari lembar kerja atau materi lain. Seringkali dalam pembelajaran tersebut melibatkan siswa untuk mendiskusikan soal bersama, membandingkan jawaban dan mengoreksi miskonsepsi jika teman sekelompok membuat kesalahan. Pada anggota kelompok ditekankan untuk menjadi yang terbaik bagi timnya dan tim melakukan yang terbaik untuk membantu anggotanya. Tim memberikan dukungan untuk pencapaian prestasi akademik yang tinggi dan memberikan perhatian, saling menguntungkan dan respek penting sebagai dampak hubungan intergroup, harga diri dan penerimaan dari siswa sekelompok.
3.    Game
Game disusun dari pertanyaan-pertanyaan yang isinya relevan dan didesain untuk menguji pengetahuan siswa dari penyajian materi dan latihan tim. Game dimainkan oleh tiga siswa pada sebuah meja, dan masing-masing siswa mewakili tim yang berbeda yang dipilih secara acak. Kebanyakan game berupa sejumlah pertanyaan bernomor pada lembar-lembar khusus. Siswa mengambil kartu bernomor dan berusaha menjawab pertanyaan yang bersesuaian dengan nomor tersebut.
4.    Turnamen
Turnamen merupakan struktur game yang dimainkan. Biasanya diselenggarakan pada akhir pekan atau unit, setelah guru melaksanakan penyajian materi dan tim telah berlatih dengan lembar kerja. Turnamen 1, guru menempatkan siswa ke meja turnamen, tiga siswa terbaik pada hasil belajar yang lalu pada meja 1, tiga siswa berikutnya pada meja 2, dan seterusnya. Kompetisi yang sama ini memungkinkan siswa dari semua tingkat pada hasil belajar yang lalu memberi kontribusi pada skor timnya secara maksimal jika mereka melakukan yang terbaik. Setelah turnamen satu, siswa pindah meja tergantung pada hasil mereka dalam turnamen satu. Pemenang satu pada tiap meja ditempatkan ke meja berikutnya yang setingkat lebih tinggi, misal dari 5 ke 6. pemenang kedua pada meja yang sama, dan yang kalah diturunkan ke meja di bawahnya. Dengan cara ini, jika siswa salah ditempatkan pada mulanya, mereka akan naik atau turun sampai mereka mencapai tingkat yang sesuai.
Dalam turnamen setelah terbentuk kelompok kemudian dilakukan suatu permainan dengan menggunakan beberapa pertanyaan yang didesain dalam sebuah soal untuk dijawab setiap siswa dalam kelompoknya. Tiap siswa dalam kelompok akan mendapatkan tugas yang berbeda, setelah itu diadakan tahap selanjutnya (kompetisi dilakukan secara individu). Pembagian kelompok kompetisi ini diperoleh berdasarkan skor yang diperoleh siswa pada soal permainan sebelumnya.
5.    Penghargaan kelompok
Tim dimungkinkan mendapatkan sertifikat atau penghargaan lain apabila skor rata-rata mereka melebihi kriteria tertentu. Menurut Slavin (1995: 80) penghargaan yang diberikan kepada kelompok.
D.    Sintaks Model TGT
Dalam Implementasinya secara teknis Slavin (2008) mengemukakan empat langkah utama dalam pembelajaran dengan teknik TGT yang merupakan siklus regular dari aktivitas pembelajaran, sebagai berikut:
1.    Step 1: Pengajaran, pada tahap ini guru menyampaikan materi pelajaran.
2.    Step 2: Belajar Tim, para siswa mengerjakan lembar kegiatan dalam tim mereka untuk menguasai materi.
3.    Step 3: Turnamen, para siswa memainkan game akademik dalam kemampuan yang homogen, dengan meja turnamen tiga peserta (kompetisi dengan tiga peserta).
4.    Step 4: Rekognisi Tim, skor tim dihitung berdasarkan skor turnamen anggota tim, dan tim tersebut akan direkognisi apabila mereka berhasil melampaui kriteria yang telah ditetapkan sebelumnya.
Sedangkan Pelaksanaan games dalam bentuk turnamen dilakukan dengan prosedur, sebagai berikut:
1.    Guru menentukan nomor urut siswa dan menempatkan siswa pada meja turnamen (3 orang , kemampuan setara). Setiap meja terdapat 1 lembar permainan, 1 lbr jawaban, 1 kotak kartu nomor, 1 lbr skor permainan.
2.    Siswa mencabut kartu untuk menentukan pembaca I (nomor tertinggi) dan yang lain menjadi penantang I dan II.
3.    Pembaca I menggocok kartu dan mengambil kartu yang teratas.
4.    Pembaca I membaca soal sesuai nomor pada kartu dan mencoba menjawabnya. Jika jawaban salah, tidak ada sanksi dan kartu dikembalikan. Jika benar kartu disimpan sebagai bukti skor.
5.    Jika penantang I dan II memiliki jawaban berbeda, mereka dapat mengajukan jawaban secara bergantian.
6.    Jika jawaban penantang salah, dia dikenakan denda mengembalikan kartu jawaban yang benar (jika ada).
7.    Selanjutnya siswa berganti posisi (sesuai urutan) dengan prosedur yang sama.
8.    Setelah selesai, siswa menghitung kartu dan skor mereka dan diakumulasi dengan semua tim.
9.    Penghargaan sertifikat, Tim Super untuk kriteria atas, Tim Sangat Baik (kriteria tengah), Tim Baik (kriteria bawah).
10.    Untuk melanjutkan turnamen, guru dapat melakukan pergeseran tempat siswa berdasarkan prestasi pada meja turnamen.

6.    Model pembelajaran Investigasi Kelompok
A.    Pengertian Model Investigasi Kelompok (Group Investigation)
Terdapat beberapa pengertian IK diantaranya :
1.    Abdulssakir, Investigasi Kelompok adalah strategi belajar kooperatif yang menempatkan siswa ke dalam kelompok untuk melakukan investigasi terhadap suatu topik.
2.    Indonbiu, Investigasi Kelompok adalah metode yang melibatkan siswa sejak perencanaan, baik dalam menentukan topik maupun cara untuk mempelajarinya melalui investigasi. Metode ini menuntut para siswa untuk memiliki kemampuan yang baik dalam berkomunikasi maupun dalam ketrampilan proses kelompok (group process skills).
3.    Narudin, Investigasi Kelompok adalah metode yang menekankan pada partisipasi dan aktivitas siswa untuk mencari sendiri materi (informasi) pelajaran yang akan dipelajari melalui bahan-bahan yang tersedia, misalnya dari buku pelajaran atau siswa dapat mencari melalui internet.
4.    Safrizal, Investigasi Kelompok adalah pembelajaran yang dikembangkan berdasarkan apa yang biasa berlaku di masyarakat, terutama mengenai cara anggota masyarakat melakukan mekanisme sosial melalui serangkaian kesepakatan sosial.
B.    Teori yang melandasi Model Investigasi Kelompok
1.    Belajar kooperatif John Dewey dan Herbert Thelan
John Dewey dan Herbert Thelan dalam Muslimin Ibrahim (2000:12) menyatakan tentang belajar kooperatif yang menganut teori motivasi dan kognitif. Menurut teori motivasi, struktur tujuan kooperatif menciptakan suatu situasi dimana satu-satunya cara agar anggota kelompok dapat mencapai tujuan pribadi mereka sendiri hanya apabila kelompok tersebut berhasil.
Selanjutnya menurut teori kognitif yang dibagi menjadi dua teori yaitu teori perkembangan dan teori elaborasi kognitif disampaikan bahwa dalam teori perkembangan dari interaksi antar siswa disekitar tugas-tugas yang sesuai meningkatkan penguasaan mereka terhadap konsep yang sulit menjadi asumsi dasar teori ini. Sedangkan teori elaborasi kognitif, dari hasil penelitian dalam psikologi kognitif telah menemukan apabila informasi harus ada dalam memori, siswa harus terlibat dalam beberapa macam kegiatan elaborasi kognitif atas suatu materi.
2.    Teori belajar dari Ausubel
Ausubel berpendapat (teorinya terkenal dengan sebutan teori belajar bermakna) bahwa belajar bermakna adalah suatu proses belajar dimana informasi baru dihubungkan dengan struktur pengertian yang sudah dipunyai dalam belajar. Belajar bermakna terjadi apabila pelajar menghubungkan fenomena baru kedalam struktur pengetahuan mereka. Hal ini terjadi melalui belajar konsep dan perubahan konsep yang telah ada, yang akan mengakibatkan pertumbuhan dan perubahan struktur konsep yang telah dipunyai pelajar. Belajar bermakna menekankan pentingnya pelajar mengasosiasikan pengalaman, fenomena, dan fakta-fakta baru ke dalam sistem pengertian yang telah dipunyai, asimilasi pengalaman baru kedalam konsep atau pengertian yang sudah dipunyai siswa sehingga siswa terlibat secara aktif. (Sugandi, 2004:38).
3.    Teori belajar dari J. Bruner
Bruner (dalam Sugandi, 2004:36-38), menyatakan bahwa pada proses pembelajaran lebih mementingkan partisipasi aktif dari setiap siswa dan mengenal dengan baik adanya perbedaan kemampuan.
C.    Karakteristk dari Model Investigasi Kelompok
1.    Pembelajaran yang berpusat pada siswa.
Guru hanya berindak sebagai fasilitator/konsultan sehingga siswa berperan aktif dalam pembelajaran. Dapat melatih siswa untuk menumbuhkan berfikir mandiri.
2.    Pembelajaran yang dilakukan dengan kerjasama dalam kelompok.
Siswa berkerjasama dan berinteraksi antar siswa dalam kelompok tanpa memandang latar belakang. Setiap siswa dalam kelompok memadukan berbagai ide dan pendapat, saling berdiskusi dan beragumentasi dalam memahami suatu pokok bahasan serta memecahkan suatu permasalahan yang dihadapi kelompok.
3.    Siswa dilatih untuk memiliki kemampuan berkomunikasi yang baik.
Siswa dilatih untuk memiliki kemampuan yang baik dalam berkomunikasi. Semua kelompok menyajikan presentasi yang menarik dari berbagai topik yang telah di pelajari, semua siswwa dalam kelas saling terlitat dan mencapai suatu perspektif yang luas mengenai topik tersebut.
4.    Siswa aktif
Siswa aktif dalam prses belajar mulai dari tahap pertama hingga tahap akhir pembelajaran. Siswa mencari sendiri materi (informasi) pelajaran yang akan dipelajari melalui bahan-bahan yang tersedia.
5.    Sesuai diterapkan dikelas tinggi
Karena pada model ini melibatkan siswa mulai dari kegiatan awal hingga akhir. Selain di terapkan di kelas 4, 5, 6 model ini juga dapat diterapkan di kelas 3 dengan catatan melihat karakteristik dari siswanya.
D.    Sintaks-sintaks dari Model Investigasi Kelompok
Langkah-langkahnya adalah:
1.    Fase 1, Identifikasi topik. Memberi suatu topik dalam wilayah yang umum, membagi kelas menjadi beberapa kelompok yang heterogen. Dan siswa memberikan kontribusi untuk berbagi subtopik yang sesuai dengan topik ( siswa berkelompok 5-6 orang dengan karakteristik yang heterogen).
2.    Fase 2, Perencanaan tugas belajar. Guru memfasilitasi siswa dalam membuat perencanaan. Dan siswa membuat perencanaan dari masalah yang akan diteliti bagaimana proses dan sumber apa yang akan dipakai dari langkah 1.
3.    Fase 3, Implementasi. Guru mengikuti kemajuan tiap kelompok dan memberi pengarahan jika diperlukan. Dan siswa melaksanakan rencana dengan mengumpulkan, menganalisis, mengevaluasi informasi, membuat kesimpulan dan mengaplikasikan bagian mereka ke dalam pengetahuan baru dalam mencapai solusi masalah.
4.    Fase 4, Analisis dan sintesis. Guru memantau dan memfasilitasi siswa. Dan Setiap kelompok mempersiapkan tugas akhir/ringkasan yang akan dipresentasikan di depan kelas dalam penyajian yang menarik.
5.    Fase 5, Presentasi. Guru mengkoordinir kelompok yang akan presentasi. Dan Siswa mempresentasikan hasil kerjanya. Kelompok lain tetap mengikuti.
6.    Fase 6, Evaluasi. Guru Mengevaluasi mengenai kontrribusi tiap kelompok terhadap pekerjaan kelas sebagai suatu keseluruhan (mencakup tiap siswa secara individu/kelompok). Dan kelompok lain memberikan pertanyaaan dan kontribusi terhadap kelompok/siswa yang presentasi.
http://imelda08300.blogspot.com/2011/04/model-model-pembelajaran-inovatif.html

“…MODEL-MODEL PEMBELAJARAN BERDASARKAN PRINSIP-PRINSIP KONSTRUKTIVISME…”
Pandangan dari berbagai macam model pembelajaran bahwa dalam proses belajar siswa adalah pelaku aktif kegiatan belajar dengan membangun sendiri pengetahuan berdasarkan pengalaman-pengalaman yang dimilikinya.
Beberapa model pembelajaran yang didasarkan pada konstruktivisme:
1.    Discovery Learning
Jerome Bruner (Slavin,1994), yaitu siswa didorong untuk belajar dengan diri mereka sendiri. Siswa belajar aktif melalui aktif dengan konsep-konsep dan prinsip-prinsip, dan guru mendorong siswa untuk mempunyai pengalaman-pengalaman dan menghubungkan pengalaman-pengalaman tersebut untuk menemukan prinsip-prinsip bagi diri mereka sendiri. Discovery learning memiliki beberapa keuntungan dalam belajar, antara lain siswa memiliki kontroversi dari dalam diri sendiri untuk menyelesaikan pekerjaannya sampai mereka menemukan jawaban-jawaban atas problem yang dihadapi mereka. Siswa juga belajar untuk mandiri dalam memecahkan problem dan memiliki ketrampilan berpikir kritis, karena mereka harus menganalisis dan mengelola informasi.

2.    Reception Learning
David Ausable (Slavin, 1994) memberikan kritik terhadap discovery learning. Dia beragumen bahwa siswa tidak selalu mengetahui apa yang penting atau relevan, dan beberapa siswa membutuhkan motivasi eksternal untuk mempelajari apa yang diajarkan disekolah.
Walaupun peran guru dalam discovering learning dan receptioning berbeda, tapi keduanya memiliki kesamaan:
a.    Antara reception learning dan discovery learning, sama-sama membutuhkan keaktifan siswa dalam belajar.
b.    Kedua pendekatan tersebut menekankan cara-cara bagaimana pengetahuan siswa yang sudah ada menjadi bagian dari pengetahuan baru.
c.    Ketiga pendekatan sama-sama mengasumsikan pengetahuan sebagai suatu yang dapat berubah terus.
Teori resepsi ini menyatakan bahwa guru mempunyai tugas untuk menyusun situasi pembelajaran, memilih materi yang sesuai bagi siswa, kemudian merepresentasikan dengan baik pelajaran yang dimulai dari umum ke yang spesifik. Inti dari pendekatan reception learning adalah expository learning, yaitu perencanaan pembelajaran yang sistematis terhadap informasi yang bermakna.
Pengajaran ekspository (expository teaching) berisi tiga tahapan pembelajaran, yaitu:
a.    Tahap pertama, advance organizer. Secara umum belajar secara maksimal terjadi bila ada potensi kesesuaian antara skema yang dimiliki siswa dengan materi atau informasi yang akan dipelajarinya. Agar terjadi kesesuaian tersebut, Ausabel (Woolfolk, 1995) menyarankan sebuah strategi yang disebut dengan advance organizer, yaitu sebuah statemen perkenalan yang menghubungkan antara skema yang sudah dimiliki oleh siswa dengan informasi baru yang akan dipelajari. Fungsi dari advance organizer ini adalah memberi bimbingan untuk memahami informasi yang baru. Dengan kata lain, advance organizer ini dapat menjadi jembatan antara materi pelajaran atau informasi baru dengan pengetahuan yang sudah dimiliki oleh siswa.  Tujuan advance organizer ada tiga: yaitu memberi arahan bagi siswa untuk mengetahui apa yang terpenting dari materi yang akan dipelajarinya; men-highlight di antara hubungan-hubungan yang akan dipelajari; dan memberikan penguatan terhadap pengetahuan yang diperoleh/dipelajari.
b.    Tahap kedua, menyampaikan tugas-tugas belajar. Setelah pemberian advance organizer, langkah berikutnya adalah menyampaikan persamaan dan perbedaan dengan contoh yang sederhana. Untuk belajar sesuatu yang baru, siswa tidak harus melihat hanya persamaan antara materi yang akan dipelajari dengan pengetahuan yang sudah dimilikinya. Lebih dari itu, siswa juga perlu melihat perbedaannya. Dengan demikian tidak terjadi kebingungan ketika siswa mempelajari materi yang baru dengan pengetahuan yang sudah ada. Untuk membantu siswa memahami persamaan dan perbedaan ini dapat digunakan berbagai cara, antara lain cara ceramah, diskusi, film-film, atau tugas-tugas belajar.
c.    Tahap ketiga, penguatan organisasi kognitif. Pada tahap ini, Ausabel menyatakan bahwa guru mencoba untuk menambahkan informasi baru ke dalam informasi yang sudah dimiliki oleh siswa pada awal pelajaran dimulai dengan membantu siswa untuk mengamati bagaimana setiap detail dari informasi berkaitan dengan informasi yang lebih besar atau lebih umum. Dengan memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengemukakan pemahamannya tentang informasi apa yang baru mereka pelajari.

3.    Assisted Learning
Assisted Learning mempunyai peran yang sangat penting bagi perkembangan individu. Vygotsky menyatakan bahwa perkembangan kognitif terjadi melalui interaksi dan percakapan seorang anak dengan lingkungan di sekitarnya. Orang lain disebut sebagai pembimbing atau guru. Pada umumnya bimbingan ini dikomunikasikan melalui bahasa.
Jerome Bruner menyebut bantuan orang dewasa dalam proses belajar anak dengan istilah scaffolding, yaitu sebuah dukungan untuk belajar dan memecahkan problem. Dukungan dapat berupa isyarat-isyarat, peringatan-peringatan, dorongan, memecahkan problem dalam beberapa tahap, memberikan contoh atau segala sesuatu yang mendorong seorang siswa untuk tumbuh dan menjadi pelajar yang mandiri dalam memecahkan problem yang dihadapinya.
Menurut Vygotsky, interaksi sosial dan bantuan belajar lebih dari sekedar metode mengajar, keduanya merupakan sumber terjadinya proses-proses mental yang lebih tinggi seperti misalnya memecahkan problem, mengarahkan memori dan perhatian, berpikir dengan simbol-simbol. Dia mengasumsikan bahwa pandangan tentang fungsi mental sepatutnya dapat diaplikasikan dalam kelompok seperti bentuk-bentuk aktifitas individual.
Dalam belajar dengan bantuan ini, guru adalah seseorang agen budaya yang dengan bimbingan dan pengajarannya siswa dapat menginternalisasi dan menguasai ketrampilan yang membutuhkan fungsi kognitif yang lebih tinggi. Secara teknis, scaffolding dalam belajar adalah membantu siswa pada awal belajar untuk mencapai pemahaman dan ketrampilan dan secara berlahan-lahan bantuan tersebut dikurangi sampai akhirnya siswa dapat belajar mandiri dan menemukan pemecahan bagi tugas-tugasnya.
4.    Active Learning
Active learning artinya pembelajaran aktif. Menurut Melvin L. Silberman, belajar bukan merupakan konsekuensi otomatis dari penyampaian informasi kepada siswa. Belajar membutuhkan keterlibatan mental dan tindakan sekaligus. Pada saat kegiatan belajar aktif, siswa melakukan sebagian besar pekerjaan belajar. Mereka mempelajari gagasan-gagasan, memecahkan berbagai masalah dan menerapkan apa yang mereka pelajari. (Silberman, 1996).
Menurut Silberman, cara belajar dengan cara mendengarkan akan lupa, dengan cara mendengarkan dan melihat akan ingat sedikit, dengan cara mendengarkan melihat dan mendiskusikan dengan siswa lain siswa akan paham, dengan cara mendengar melihat diskusi dan melakukan akan memperoleh pengetahuan dan ketrampilan , dan cara untuk menguasai pelajaran yang terbagus adalah dengan mengajarkan.
Hasil pengembangan dari pernyataan Confisius ini oleh Silberman diabadikan dengan kredo:
What I hear, I forget
What I hear and see, I remember a little
What I hear, see, and ask question about or discuss with someone else, I begin to understand
What I hear, see, discuss, and do, I acquire knowledge and skill
What I teach to another, I master
Active learning menyajikan 101 strategi pembelajaran aktif yang hampir dapat diterapkan untuk semua pelajaran.

5.    The Accelerated Learning
The Accelerated Learning adalah pembelajaran yang dipercepat. Konsep dasar dari pembelajaran ini adalah bahwa pembelajaran itu berlangsung sangat cepat, menyenangkan, dan memuaskan. Pemilik konsep ini, Dave Meier, menyarankan kepada guru agar dalam mengelola kelas menggunakan pendekatan Somatic, Auditory, Visual, dan Intellectual (SAVI). Somatic dimaksudkan sebagai learning by moving and doing (belajar dengan bergerak dan berbuat). Auditory adalah learning by talking and hearing (belajar dengan berbicara dan mendengarkan). Visual artinya learning by observing and picturing (belajar dengan mengamati dan menggambarkan). Intellectual maksudnya adalah learning by problem solving and reflecting (belajar dengan pemecahan masalah dan melakukan refleksi).
Bobbi Deporter menganggap accelerated learning dapat memungkinkan siswa untuk belajar dengan kecepatan yang mengesankan, dengan upaya yang normal dan dibarengi kegembiraan. Cara ini menyatukan unsur-unsur yang sekilas tampak tidak mempunyai persamaan, misalnya hiburan, permainan, warna, cara berpikir positif, kebugaran fisik, dan kesehatan emosional. Namun, semua unsur ini bekerja sama untuk menghasilkan pengalaman belajar yang efektif (DePorter, Hemacki, 2000).

6.    Quantum Learning
Quantum didefinisikan sebagai interaksi yang mengubah energi menjadi cahaya. Semua kehidupan adalah energi. Sedang learning artinya belajar. Dengan demikian, Quantum learning adalah cara penggubahan bermacam-macam interaksi, hubungan, dan inspirasi yang ada di dalam dan di sekitar momen belajar (Bobby DePorter dan Mike Hernacki, 2000). Dalam prakteknya, quantum learnig menggunakan suggestologi, teknik pemercepatan belajar, dan neurolinguistik dengan teori, keyakinan, dan metode tertentu (Bobby DePorter dan Mike Hernacki,2000).
Quantum Learning  mengasumsikan bahwa siswa, jika mampu menggunakan potensi nalar dan potensi yang tidak bisa terduga sebelumnya.
Salah satu konsep dasar dari metode ini adalah bahwa belajar itu harus mengasyikkan dan berlangsung dalam suasana gembira, sehingga pintu masuk untuk informasi baru akan lebih lebar dan terekam dengan baik.
Quantum learning memadukan potensi fisik, psikis, dan emosi menjadi suatu yang integral.
Dalam praktik, quantum learning bersandang pada asas utama bawalah dunia mereka ke dunia kita, dan antarkan dunia kita ke dunia mereka. Dengan demikian, pembelajaran merupakan kegiatan full contact yang melibatkan sesuai aspek kepribadian siswa (pikiran, perasaan, dan bahasa tubuh) disamping pengetahuan, sikap, dan keyakinan sebelumnya, serta persepsi masa depan. Semua ini harus dikelola sampai mencapai harmoni.
Setiap detail mencerminkan suatu lingkungan kelas yang bertaburan isyarat yang disadari atau tidak, akan diikuti oleh siswa.


7.    Contextual teaching and learning (CTL)
Pembelajaran kontekstual (Contextual Teaching and Learning) adalah konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkannya dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapan dalam kehidupan mereka sehari hari.
Dengan konsep itu, hasil pembelajaran diharapkan lebih bermakna bagi siswa. Proses pembelajaran berlangsung alamiah dalam bentuk kegiatan siswa bekerja dan mengalami, bukan transfer pengetahuan dari guru ke siswa. Strategi lebih dipentingkan  daripada hasil (Nurhadi, Yasin, Burhan, Senduk, A Gerad, 2004).
Tugas guru adalah membantu siswa mencapai tujuannya. Maksudnya, guru lebih banyak berurusan dengan strategi dari pada memberi informasi. Tugas guru mengelola kelas sebagai sebuah tim yang bekerja bersama untuk menemukan sesuatu yang baru bagi anggota kelas.
Pendekatan kontekstual memiliki tujuh komponen utama, yaitu konstruktivisme (constructivisme), menemukan (inquiry), bertanya (questioning), masyarakat belajar (learning community), pemodelan (modeling), refleksi (reflection), dan penilaian yang sebenarnya (authentic assessment). Pendekatan ini dapat diterapkan dalam kurikulum apa saja, bidang studi apa saja, dan kelas yang bagaimanapun keadaannya.
Penerapan CTL:
a.    Kembangkan pemikiran bahwa anak akan belajar lebih bermakna dengan cara bekerja sendiri, menemukan sendiri, dan mengkonstruksi sendiri pengetahuan dan ketrampilan barunya
b.    Langsungkan sejauh mungkin kegiatan inquiry untuk semua topic
c.    Kembangkan sifat ingin tahu siswa dengan bertanya
d.    Ciptakan ‘masyarakat belajar’ (belajar dalam kelompok-kelompok)
e.    Hadirkan model sebagai contoh pembelajaran
f.    Lakukan refleksi di akhir pertemuan
g.    Lakukan penilaian yang sebenarnya dengan berbagai cara.
Sekolah yang baik menurut Dryden dan Vos, adalah sekolah tanpa kegagalan. Semua siswa teridentifikasi bakat, ketrampilan, dan kecerdasannya, sehingga memungkinkan mereka menjadi apa saja yang mereka inginkan.
Setiap siswa memiliki gaya belajar yang unik, dan sekolah seharusnya dapat melayaninya.
Macam-macam gaya belajar: visual (melihat  diagram dan gambar), sebagian menggunakan indera perasa (haptic), menggerakkan tubuh (kinestetik),  orientasi membaca buku (teks tercetak), dan kelompok interaktif (berinteraksi dengan siswa yang lain).
Humanizing the classroom yang menghargai adanya perbedaan atau keunikan yang dimiliki oleh siswa, experiental learning (dikembangkan David Kolb) sangat memperhatikan adanya perbedaan atau keunikan yang dimiliki oleh masing-masing individu.
Experiental learning juga didasarkan pada pengalaman. Kedua model belajar tersebut mempunyai konsep bahwa ilmu pengetahuan diperoleh dari memahami  dan mentransformasi pengetahuan.
http://chezz-coco.blogspot.com/2011/03/teori-belajar-konstruktivisme.html

“…MODEL PEMBELAJARAN…”
Gunter et al (1990:67) mendefinisikan an instructional model is a step-by-step procedure that leads to specific learning outcomes. Joyce & Weil (1980) mendefinisikan model pembelajaran sebagai kerangka konseptual yang digunakan sebagai pedoman dalam melakukan pembelajaran. Dengan demikian, model pembelajaran merupakan kerangka konseptual yang melukiskan prosedur yang sistematis dalam mengorganisasikan pengalaman belajar untuk mencapai tujuan belajar. Jadi model pembelajaran cenderung preskriptif, yang relatif sulit dibedakan dengan strategi pembelajaran. An instructional strategy is a method for delivering instruction that is intended to help students achieve a learning objective (Burden & Byrd, 1999:85).
Selain memperhatikan rasional teoretik, tujuan, dan hasil yang ingin dicapai, model pembelajaran memiliki lima unsur dasar (Joyce & Weil (1980), yaitu:
a.    syntax, yaitu langkah-langkah operasional pembelajaran,
b.    social system, adalah suasana dan norma yang berlaku dalam pembelajaran,
c.    principles of reaction, menggambarkan bagaimana seharusnya guru memandang, memperlakukan, dan merespon siswa,
d.    support system, segala sarana, bahan, alat, atau lingkungan belajar yang mendukung pembelajaran, dan
e.    instructional dan nurturant effects-hasil belajar yang diperoleh langsung berdasarkan tujuan yang disasar (instructional effects) dan hasil belajar di luar yang disasar (nurturant effects).
Berikut diberikan lima contoh model pembelajaran yang memiliki kecenderungan berlandaskan paradigma konstruktivistik, yaitu: model reasoning and problem solving, model inquiry training, model problem-based instruction, model pembelajaran perubahan konseptual, dan model group investigation.

1.    Model Reasoning and Problem Solving
Di abad pengetahuan ini, isu mengenai perubahan paradigma pendidikan telah gencar didengungkan, baik yang menyangkut content maupun pedagogy. Perubahan tersebut meliputi kurikulum, pembelajaran, dan asesmen yang komprehensif (Krulik & Rudnick, 1996). Perubahan tersebut merekomendasikan model reasoning and problem solving sebagai alternatif pembelajaran yang konstruktif. Rasionalnya, bahwa kemampuan reasoning and problem solving merupakan keterampilan utama yang harus dimiliki siswa ketika mereka meninggalkan kelas untuk memasuki dan melakukan aktivitas di dunia nyata.
Reasoning merupakan bagian berpikir yang berada di atas level memanggil (retensi), yang meliputi: basic thinking, critical thinking, dan creative thinking. Termasuk basic thinking adalah kemampuan memahami konsep.  Kemampuan-kemapuan critical thinking adalah menguji, menghubungkan, dan mengevaluasi aspek-aspek yang fokus pada masalah, mengumpulkan dan mengorganisasi informasi, memvalidasi dan menganalisis informasi, mengingat dan mengasosiasikan informasi yang dipelajari sebelumnya, menentukan jawaban yang rasional, melukiskan kesimpulan yang valid, dan melakukan analisis dan refleksi. Kemampuan-kemampuan creative thinking adalah menghasilkan produk orisinil, efektif, dan kompleks, inventif, pensintesis, pembangkit, dan penerap ide.
Problem adalah suatu situasi yang tak jelas jalan pemecahannya yang mengkonfrontasikan individu atau kelompok untuk menemukan jawaban dan problem solving adalah upaya individu atau kelompok untuk menemukan jawaban berdasarkan pengetahuan, pemahaman, keterampilan yang telah dimiliki sebelumnya dalam rangka memenuhi tuntutan situasi yang tak lumrah tersebut (Krulik & Rudnick, 1996). Jadi aktivitas problem solving diawali dengan konfrontasi dan berakhir apabila sebuah jawaban telah diperoleh sesuai dengan kondisi masalah. Kemampuan pemecahan masalah dapat diwujudkan melalui kemampuan reasoning.
Model reasoning and problem solving dalam pembelajaran memiliki lima langkah pembelajaran (Krulik & Rudnick, 1996), yaitu:
a.    membaca dan berpikir (mengidentifikasi fakta dan masalah, memvisualisasikan situasi, mendeskripsikan seting pemecahan,
b.    mengeksplorasi dan merencanakan (pengorganisasian informasi, melukiskan diagram pemecahan, membuat tabel, grafik, atau gambar),
c.    menseleksi strategi (menetapkan pola, menguji pola, simulasi atau eksperimen, reduksi atau ekspansi, deduksi logis, menulis persamaan),
d.    menemukan jawaban (mengestimasi, menggunakan keterampilan komputasi, aljabar, dan geometri),
e.    refleksi dan perluasan (mengoreksi jawaban, menemukan alternatif pemecahan lain, memperluas konsep dan generalisasi, mendiskusikan pemecahan, memformulasikan masalah-masalah variatif yang orisinil). Sistem sosial yang berkembang adalah minimnya peran guru sebagai transmitter pengetahuan, demokratis, guru dan siswa memiliki status yang sama yaitu menghadapi masalah, interaksi dilandasi oleh kesepakatan.
Prinsip reaksi yang dikembangkan adalah guru lebih berperan sebagai konselor, konsultan, sumber kritik yang konstruktif, fasilitator, pemikir tingkat tinggi. Peran tersebut ditampilkan utamanya dalam proses siswa melakukan aktivitas pemecahan masalah.
Sarana pembelajaran yang diperlukan adalah berupa materi konfrontatif yang mampu membangkitkan proses berpikir dasar, kritis, kreatif, berpikir tingkat tinggi, dan strategi pemecahan masalah non rutin, dan masalah-masalah non rutin yang menantang siswa untuk melakukan upaya reasoning dan problem solving.
Sebagai dampak pembelajaran dalam model ini adalah pemahaman, keterampilan berpikir kritis dan kreatif, kemampuan pemecahan masalah, kemampuan komunikasi, keterampilan mengunakan pengetahuan secara bermakna. Sedangkan dampak pengiringnya adalah hakikat tentatif krilmuan, keterampilan proses keilmuan, otonomi dan kebebasan siswa, toleransi terhadap ketidakpastian dan masalah-masalah non rutin.

2.    Model Inquiry Training
Untuk model ini, terdapat tiga prinsip kunci, yaitu pengetahuan bersifat tentatif, manusia memiliki sifat ingin tahu yang alamiah, dan manusia mengembangkan indivuality secara mandiri. Prinsip pertama menghendaki proses penelitian secara berkelanjutan, prinsip kedua mengindikasikan pentingkan siswa melakukan eksplorasi, dan yang ketiga kemandirian, akan bermuara pada pengenalan jati diri dan sikap ilmiah.
Model inquiry training memiliki lima langkah pembelajaran (Joyce & Weil, 1980), yaitu:
a.    menghadapkan masalah (menjelaskan prosedur penelitian, menyajikan situasi yang saling bertentangan),
b.    menemukan masalah (memeriksa hakikat obyek dan kondisi yang dihadapi, memeriksa tampilnya masalah),
c.    mengkaji data dan eksperimentasi (mengisolasi variabel yang sesuai, merumuskan hipotesis),
d.    mengorganisasikan, merumuskan, dan menjelaskan, dan
e.    menganalisis proses penelitian untuk memperoleh prosedur yang lebih efektif.
Sistem sosial yang mendukung adalah kerjasama, kebebasan intelektual, dan kesamaan derajat. Dalam proses kerjasama, interaksi siswa harus didorong dan digalakkan. Lingkungan intelektual ditandai oleh sifat terbuka terhadap berbagai ide yang relevan. Partisipasi guru dan siswa dalam pembelajaran dilandasi oleh paradigma persamaan derajat dalam mengakomodasikan segala ide yang berkembang.
Prinsip-prinsip reaksi yang harus dikembangkan adalah: pengajuan pertanyaan yang jelas dan lugas, menyediakan kesempatan kepada siswa untuk memperbaiki pertanyaan, menunjukkan butir-butir yang kurang sahih, menyediakan bimbingan tentang teori yang digunakan, menyediakan suasana kebebasan intelektual, menyediakan dorongan dan dukungan atas interaksi, hasil eksplorasi,formulasi, dan generalisasi siswa.
Sarana pembelajaran yang diperlukan adalah berupa materi konfrontatif yang mampu membangkitkan proses intelektual, strategi penelitian, dan masalah yang menantang siswa untuk melakukan penelitian.
Sebagai dampak pembelajaran dalam model ini adalah strategi penelitian dan semangat kreatif. Sedangkan dampak pengiringnya adalah hakikat tentatif krilmuan, keterampilan proses keilmuan, otonomi siswa, toleransi terhadap ketidakpastian dan masalah-masalah non rutin.

3.    Model Problem-Based Instruction
Problem-based instruction adalah model pembelajaran yang berlandaskan paham konstruktivistik yang mengakomodasi keterlibatan siswa dalam belajar dan pemecahan masalah otentik (Arends et al., 2001). Dalam pemrolehan informasi dan pengembangan pemahaman tentang topik-topik, siswa belajar bagaimana mengkonstruksi kerangka masalah, mengorganisasikan dan menginvestigasi masalah, mengumpulkan dan menganalisis data, menyusun fakta, mengkonstruksi argumentasi mengenai pemecahan masalah, bekerja secara individual atau kolaborasi dalam pemecahan masalah.
Model problem-based instruction memiliki lima langkah pembelajaran (Arend et al., 2001), yaitu:
a.    guru mendefisikan atau mempresentasikan masalah atau isu yang berkaitan (masalah bisa untuk satu unit pelajaran atau lebih, bisa untuk pertemuan satu, dua, atau tiga minggu, bisa berasal dari hasil seleksi guru atau dari eksplorasi siswa),
b.    guru membantu siswa mengklarifikasi masalah dan menentukan bagaimana masalah itu diinvestigasi (investigasi melibatkan sumber-sumber belajar, informasi, dan data yang variatif, melakukan surve dan pengukuran),
c.    guru membantu siswa menciptakan makna terkait dengan hasil pemecahan masalah yang akan dilaporkan (bagaimana mereka memecahkan masalah dan apa rasionalnya),
d.    pengorganisasian laporan (makalah, laporan lisan, model, program komputer, dan lain-lain),  dan
e.    presentasi (dalam kelas melibatkan semua siswa, guru, bila perlu melibatkan administator dan anggota masyarakat).
Sistem sosial yang mendukung model ini adalah: kedekatan guru dengan siswa dalam proses teacher-asisted instruction, minimnya peran guru sebagai transmitter pengetahuan, interaksi sosial yang efektif, latihan investigasi masalah kompleks.
Prinsip reaksi yang dapat dikembangkan adalah: peranan guru sebagai pembimbing dan negosiator. Peran-peran tersebut dapat ditampilkan secara lisan selama proses pendefinisian dan pengklarifikasian masalah.
Sarana pendukung model pembelajaran ini adalah: lembaran kerja siswa, bahan ajar, panduan bahan ajar untuk siswa dan untuk guru, artikel, jurnal, kliping, peralatan demonstrasi atau eksperimen yang sesuai, model analogi, meja dan korsi yang mudah dimobilisasi atau ruangan kelas yang sudah ditata untuk itu.
Dampak pembelajaran adalah pemahaman tentang kaitan pengetahuan dengan dunia nyata, dan bagaimana menggunakan pengetahuan dalam pemecahan masalah kompleks. Dampak pengiringnya adalah mempercepat pengembangan self-regulated learning, menciptakan lingkungan kelas yang demokratis, dan efektif dalam mengatasi keragaman siswa.

4.    Model Pembelajaran Perubahan Konseptual
Pengetahuan yang telah dimiliki oleh seseorang sesungguhnya berasal dari pengetahuan yang secara spontan diperoleh dari interaksinya dengan lingkungan. Sementara pengetahuan baru dapat bersumber dari intervensi di sekolah yang keduanya bisa konflik, kongruen, atau masing-masing berdiri sendiri.
Dalam kondisi konflik kognitif, siswa dihadapkan pada tiga pilihan, yaitu:
a.    mempertahankan intuisinya semula,
b.    merevisi sebagian intuisinya melalui proses asimilasi, dan
c.    merubah pandangannya yang bersifat intuisi tersebut dan mengakomodasikan pengetahuan baru.
Perubahan konseptual terjadi ketika siswa memutuskan pada pilihan yang ketiga. Agar terjadi proses perubahan konseptual, belajar melibatkan pembangkitan dan restrukturisasi konsepsi-konsepsi yang dibawa oleh siswa sebelum pembelajaran (Brook & Brook, 1993).
Ini berarti bahwa mengajar bukan melakukan transmisi pengetahuan tetapi memfasilitasi dan memediasi agar terjadi proses negosiasi makna menuju pada proses perubahan konseptual (Hynd, et al,. 1994). Proses negosiasi makna tidak hanya terjadi atas aktivitas individu secara perorangan, tetapi juga muncul dari  interaksi individu dengan orang lain melalui peer mediated instruction. Costa (1999:27) menyatakan meaning making is not just an individual operation, the individual interacts with others to construct shared knowledge.
Model pembelajaran perubahan konseptual memiliki enam langkah pembelajaran (Santyasa, 2004), yaitu:
a.    Sajian masalah konseptual dan kontekstual,
b.    konfrontasi miskonsepsi terkait dengan masalah-masalah tersebut,
c.    konfrontasi sangkalan berikut strategi-strategi demonstrasi, analogi, atau contoh-contoh tandingan,
d.    konfrontasi pembuktian konsep dan prinsip secara ilmiah,
e.    konfrontasi materi dan contoh-contoh kontekstual,
f.    konfrontasi pertanyaan-pertanyaan untuk memperluas pemahaman dan penerapan pengetahuan secara bermakna.
 Sistem sosial yang mendukung model ini adalah: kedekatan guru sebagai teman belajar siswa, minimnya peran guru sebagai transmiter pengetahuan, interaksi sosial yang efektif, latihan menjalani learning to be.
Prinsip reaksi yang dapat dikembangkan adalah: peranan guru sebagai fasilitator, negosiator, konfrontator. Peran-peran tersebut dapat ditampilkan secara lisan atau tertulis melalui pertanyaan-pertanyaan resitasi dan konstruksi. Pertanyaan resitasi bertujuan memberi peluang kepada siswa memangil pengetahuan yang telah dimiliki dan pertanyaan konstruksi bertujuan memfasilitasi, menegosiasi, dan mengkonfrontasi siswa untuk mengkonstruksi pengetahuan baru.
Sarana pendukung model pembelajaran ini adalah: lembaran kerja siswa, bahan ajar, panduan bahan ajar untuk siswa dan untuk guru, peralatan demonstrasi atau eksperimen yang sesuai, model analogi, meja dan korsi yang mudah dimobilisasi atau ruangan kelas yang sudah ditata untuk itu.
Dampak pembelajaran dari model ini adalah: sikap positif terhadap belajar, pemahaman secara mendalam, keterampilan penerapan pengetahuan yang variatif. Dampak pengiringnya adalah: pengenalan jati diri, kebiasaan belajar dengan bekerja, perubahan paradigma, kebebasan, penumbuhan kecerdasan inter dan intrapersonal.

5.    Model Group Investigation
Ide model pembelajaran geroup investigation bermula dari perpsektif filosofis terhadap konsep belajar. Untuk dapat belajar, seseorang harus memiliki pasangan atau teman. Pada tahun 1916, John Dewey, menulis sebuah buku Democracy and Education (Arends, 1998). Dalam buku itu, Dewey menggagas konsep pendidikan, bahwa kelas seharusnya merupakan cermin masyarakat dan berfungsi sebagai laboratorium untuk belajar tentang kehidupan nyata.
Pemikiran Dewey yang utama tentang pendidikan (Jacob, et al., 1996), adalah:
a.    siswa hendaknya aktif, learning by doing;
b.    belajar hendaknya didasari motivasi intrinsik;
c.    pengetahuan adalah berkembang, tidak bersifat tetap;
d.    kegiatan belajar hendaknya sesuai dengan kebutuhan dan minat siswa;
e.    pendidikan harus mencakup kegiatan belajar dengan prinsip saling memahami dan saling menghormati satu sama lain, artinya prosedur demokratis sangat penting; (6) kegiatan belajar hendaknya berhubungan dengan dunia nyata.
Gagasan-gagasan Dewey akhirnya diwujudkan dalam model group-investigation yang kemudian dikembangkan oleh Herbert Thelen. Thelen menyatakan bahwa kelas hendaknya merupakan miniatur demokrasi yang bertujuan mengkaji masalah-masalah sosial antar pribadi (Arends, 1998).
Model group-investigation memiliki enam langkah pembelajaran (Slavin, 1995), yaitu:
a.    grouping (menetapkan jumlah anggota kelompok, menentukan sumber, memilih topik, merumuskan permasalahan),
b.    planning (menetapkan apa yang akan dipelajari, bagaimana mempelajari, siapa melakukan apa, apa tujuannya),
c.    investigation (saling tukar informasi dan ide, berdiskusi, klarifikasi, mengumpulkan informasi, menganalisis data, membuat inferensi),
d.    organizing (anggota kelompok menulis laporan, merencanakan presentasi laporan, penentuan penyaji, moderator, dan notulis),
e.    presenting (salah satu kelompok menyajikan, kelompok lain mengamati, mengevaluasi, mengklarifikasi, mengajukan pertanyaan atau tanggapan), dan
f.    evaluating (masing-masing siswa melakukan koreksi terhadap laporan masing-masing berdasarkan hasil diskusi kelas, siswa dan guru berkolaborasi mengevaluasi pembelajaran yang dilakukan, melakukan penilaian hasil belajar yang difokuskan pada pencapaian pemahaman.
Sistem sosial yang berkembang adalah minimnya arahan guru, demokratis, guru dan siswa memiliki status yang sama yaitu menghadapi masalah, interaksi dilandasi oleh kesepakatan.
Prinsip reaksi yang dikembangkan adalah guru lebih berperan sebagai konselor, konsultan, sumber kritik yang konstruktif. Peran tersebut ditampilkan dalam proses pemecahan masalah, pengelolaan kelas, dan pemaknaan perseorangan. Peranan guru terkait dengan proses pemecahan masalah berkenaan dengan kemampuan meneliti apa hakikat dan fokus masalah. Pengelolaan ditampilkan berkenaan dengan kiat menentukan informasi yang diperlukan dan pengorganisasian kelompok untuk memperoleh informasi tersebut.
Pemaknaan perseorangan berkenaan dengan inferensi yang diorganisasi oleh kelompok dan bagaimana membedakan kemampuan perseorangan.
Sarana pendukung model pembelajaran ini adalah: lembaran kerja siswa, bahan ajar, panduan bahan ajar untuk siswa dan untuk guru, peralatan penelitian yang sesuai, meja dan korsi yang mudah dimobilisasi atau ruangan kelas yang sudah ditata untuk itu.
Sebagai dampak pembelajaran adalah pandangan konstruktivistik tentang pengetahuan, penelitian yang berdisiplin, proses pembelajaran yang efektif, pemahaman yang mendalam. Sebagai dampak pengiring pembelajaran adalah hormat terhadap HAM dan komitmen dalam bernegara, kebebasan sebagai siswa, penumbuhan aspek sosial, interpersonal, dan intrapersonal.
http://www.freewebs.com/santyasa/pdf2/MODEL_MODEL_PEMBELAJARAN.pdf
http://www.scribd.com/doc/30223545/Model-Model-Pembelajaran

1 komentar:

  1. trimakasih yaaaaaaa,,, udah kunjungi blog saya.... hehehe :)

    BalasHapus

Makasih Udah Kunjungi Blog Saya :)
"Smoga Postting ini Bermanfaat"